Ketika seluruh tumpuan
semangat bahkan ikut andil dalam penjatuhan kepercayaan
Pagi yang dingin menyelimuti, kubuka laptop hitamku. Menunggu ia menyala
ku nyalakan kompor gas usang di dapur kami.
Ku letakkan poci dan kutuang air. Membunuh waktu menunggu air mendidih
ku persiapkan meja kerjaku seperti biasnya. Ku buka daftar recent open ku, dan klik daftar paling atas yang sering ku buka dan
ku utak-atik belakang ini. Setelah jendela kerja penuh teks itu terbuka tatapan
mulai kabur, pikiranku hilang. Terdengar sayup kata-kata yang membuat semangat
ku redam, berulang. “untuk apa kau kerjakan hal yang tak berguna? Membuang masa
mudamu! Segeralah menjadi honorer di sekolah yang ibu sudah pilihkan” suara
wanita paruh baya itu terngiang. Entah berapa lama, heningku pecah. Poci berbunyi
tanda air mendidih. Ku tuang gelas kaca berisi serbuk kopi dan gula. Ya begitulah
ku menghabiskan pukul 3 pagiku yang tak mau tidur dan beristirahat. Selelah apapun
tubuh, otak dan mata bekerja.
Pagiku dihabiskan dengan menatap draft yang selalu menunggu mood terbaik datang. Meski entah kapan. Mencari
inspirasi jauh lebih melelahkan dari pada sekadar menuliskan ide dalam draft
ini. Pekikku dalam hati. Mengeluh pada inspirasi saja sudah menghabiskan hampir
setengah semangat dan energi. Ditambah omelan pagi yang selalu menyasar
telingaku dari ibu. Ku pilih menghindar agar tak meledak secara emosional. Bermotor
mencari sarapan, hingga tidur pulas tak tau waktu. Kadang tak tahan, hingga
harus keluar rumah dan pulang hampir dini hari.
Ya, garis keluarga dari ayahku punya riwayat temperamental yang
mledak-ledak. Maaf, tak ingin salah mengeluarkan ku plih menghindar dari sumber
kemuakan. Hampir satu bulan ku jalani hari dengan kejatuhan spirit yang hebat. Dijatuhkan
orang lain, bukan masalah bagiku. Tapi dijatuhkan oleh motivasiku? Lain lagi
rasanya.
Bagaimana tidak, draft ini kupersiapkan untuk bertemu professor yang Tuhan
kirim pada minggu yang akan datang di kota sebelah. Seolah seperti oase di gurun
pasir, kampus yang menjadi cita-citaku adalah tempatnya mengajar. Menjadi
harapan besar draft ini diliriknya dan menjadi rekomendasiku diterimanya di
kampus itu. Sementara belum setengah draft ini selesai, ibu selalu menjatuhkan
semangatku, rutin.
Baginya segera bekerja di sekolah yang dilobinya dari saudara jauh kami
adalah yang terbaik. Tapi bukankah kita sudah saling sepakat? Ibu memintaku
menghabiskan waktu sebagai gelas kosong pengetahuan di usia muda dan aku
setujui hingga seperempat abad usia yang akan tuhan berikan? Bagi orang sulit menjalani hidupku. Namun, bagiku hari wisuda
penuh drama yang seluruh penjuru negeri tahu bukan masalah buatku. Basa basi
orang menanyakan pekerjaan dan merendahkan pengangguran sepertiku pun bukan hal
yang harus ku pikir. Selama aku masih menghasilkan uang dari jalan lain. Tapi,
bila ibu akhirnya yang mulai tidak yakin, bisa apa aku.
Hari demi hari ku lalui dengan stress hebat, terintimidasi dalam diam. Hingga
pertemuan dengan professor dengan draft andalan kuurungkan. Meratapi hal yang
bahkan ibu tak tahu bagaimana rasanya. Hilang keyakinan dan kesempatan. Entah bagaimana
memperbaiki kondisi ini. Karena bila ketidakpercayan ini menyerang, dokterpun
bisa apa?
Komentar
Posting Komentar