Alhamdulillah .. Terbangun lagi di pagi ini, saya bersyukur karena dua pekan lebih drama telah terlewati. Hari-hari berisi fluktuasi emosi yang digambarkan melalui tatapan dingin, perasaan tersindir, diskusi yang tidak berujung solusi, dan rasa bersalah karena merasa terus-menerus melakukan kesalahan ternyata sangat melelahkan. Tidak hanya itu, kembang dan kempisnya kantung jiwa juga terasa berganti-ganti setiap hari: kadang semangat, seringnya kehilangan motivasi, menyendiri dan berkali-kali menyalahkan diri dan kondisi, Astaghfirullah. Hingga akhirnya, hampir memasuki minggu ke 3 banyak dihabiskan untuk menyelesaikan PR dengan diri sendiri, yaitu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dasar hati. Kamu pernah merasakannya? Bagaimana rasanya?
Jika perasaan yang mendominasi hampir 3 pekan ke belakang ini harus dinamai, saya akan memilih ‘merasa bersalah’ sebagai namanya. Betapa tidak, berkali-kali saya merasa banyak melakukan kesalahan karena mengatakan sesuatu yang pasti berat untuk didengar oleh orang lain. Niat awal memang self disclosure untuk menyampaikan apa yang membuat saya tidak nyaman, tapi ternyata ia berakhir menjadi rasa bersalah khawatir apa yang disampaikan tidak tepat sasaran karena disampaikan dengan cara guyon beraroma sindiran, merasa tidak menghormati kondisi perasaan orang yang mendengarkan ,hingga merasa gagal memilih waktu maupun cara yang tepat untuk berbicara. Meski di sisi lain, saya seperti mendengar suara hati saya berkata, “Kalau sekarang dirasa belum tepat waktu, boleh jadi besok-besok tambah enggak tepat karena semua terlanjur lebih rumit …”
Namanya juga merasa bersalah, apalagi kepada orang-orang yang dalam lingkungan baru, tentu rasanya tidak menyenangkan. I cried a lot behind ma pillow, terutama ketika mengingat situasi yang berubah menjadi menegangkan dan sikap tubuh lawan bicara yang lebih banyak menundukkan bahu, berwajah un-mood, menarik napas panjang, dan mengerenyitkan dahi. Takut sekali rasanya jika tanpa sengaja menyakiti orang-orang yang tidak pernah ingin saya sakiti hingga berkali-kali saya berkata pada diri sendiri, “Aku jahat banget, harusnya tadi enggak bilang gitu, harusnya mungkin enggak se-idealis itu, harusnya bisa lebih peka dan menyamakan frekuensi perasaan dengan lawan bicara dulu, harusnya …”
Hmm, saya sadar bahwa distorsi penerimaan informasi sangat mungkin terjadi jika kondisi emosi sedang tidak stabil. Itulah yang terjadi ketika saya menjadi objek yang dijujuri perasaan risih seseorang. Perasaan ciut dan merasa melakukan kesalahan besar membelenggu keberanian saya untuk mencoba menjelaskan maksud yang saya pikir baik tapi sekali lagi dalam waktu dan cara yang tidak tepat. Ya Allah, sudahlah aku ini banyak salahnya, ternyata banyak juga kurangnyaaa~
Apa yang biasanya terjadi pada orang-orang yang sedang merasa sangat bersalah? Ya, keberhargaan dirinya menjadi rendah. Itulah juga yang saya rasakan kemarin-kemarin hingga saya bertanya-tanya pada diri sendiri, “Sheptiiii, kamu tuh kenapa akhir-akhir ini salah terus? Ganti hari bukannya jadi lebih baik malah sebaliknya... pff. HAHAHA, kalau terus begitu, saya sadar kalau saya sedang membuang-buang waktu dengan mengulang-ulang sesuatu yang tidak efektif dan tidak membantu. So, I flipped my point of view!
Tidak mudah memang untuk mengakui banyak kesalahan dan kelemahan diri dan tipical diri ini adalah orang yang sulit jujur mengenai perasaan, banyak kodenya, tapi hal yang lebih parah justru adalah ketika kita tidak pernah belajar dari kesalahan dan kelemahan yang dimiliki. Alhamdulillah ‘ala kulli haal, betapa di hampir 3 minggu ke belakang di lokasi pengabdian bersama teman-teman ternyata Allah mengirimkan banyak kejadian untuk belajar, bertumbuh, lalu memperbaiki kesalahan-kesalahan.
Komentar
Posting Komentar